Monitor, Tangsel- Jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang ada di Provinsi Banten mencapai sekira 6.118 orang. Dengan rincian, 4.099 positif HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan 2.019 orang sisanya terkena AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome ). Sedangkan angka kematian pengidapnya telah mencapai 380 orang.
Data itu diperoleh dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Banten yang bersumber dari Dinas Kesehatan setempat. Jumlah tersebut dihimpun, berdasarkan catatan hingga bulan Oktober 2018 yang tersebar pada 8 Kabupaten-Kota di Provinsi Banten.
Sebagaimana diketahui, mengidap HIV atau AIDS memiliki beban psikologis tersendiri di tengah masyarakat. Ancaman dikucilkan, hingga mengalami diskriminasi dari lingkungan sekitar menjadi bayang-bayang menakutkan bagi ODHA.
Sekretaris Daerah Jaringan Indonesia Positif (JIP), Irwanto, menuturkan, saat ini yang harus dilakukan adalah mengedukasi ODHA untuk berani membuka diri dan bersosialisasi dengan lingkungan. Karena hasil advokasi yang dilakukannya di wilayah Banten selama ini memberi kesimpulan, jika kebanyakan ODHA lebih nyaman menutup diri.
“Kasus-kasus di Banten ini justru yang menarik adalah bagaimana ODHA ini bisa mau keluar, supaya dia bisa bersosialisasi, istilahnya Inklusi sosial. Cuma masalahnya, nggak semua ODHA berani seperti itu, itu poin pentingnya,” katanya usai menggelar sosialisasi “Nol Diskriminasi ODHA Menuju 2030 Bebas HIV-AIDS, di Ciputat, Tangsel, Minggu (9/12/2018).
Dijelaskan Irwanto, para aktivis perlindungan ODHA yang tersebar di sejumlah Kabupaten-Kota di Banten terus mengajak ODHA agar mau bergabung kedalam suatu komunitas, kelompok. Dengan bergabungnya pada kelompok itu, menurut dia, mereka yang terinfeksi akan merasa kuat secara mental.
“Teman-teman baik penjangkau, pendamping, dan jaringan, mencoba mengakomodir kebutuhan agar mereka (ODHA) bergabung dalam kelompok. Minimal mereka merasa dibackup dengan bergabungnya di kelompok itu,” tambahnya.
Keberadaan kelompok itu, dilanjutkan Irwanto, nantinya akan membantu para ODHA agar mendapat penanganan sebagaimana mestinya. Misalnya, mendapat akses obat (ARV) setiap bulan ke pelayanan, mengedukasi, advokasi, bahkan hingga mereminder jadwal meminum obat setiap hari,” ucapnya.
Diungkapkannya, masalah penaganan ODHA tak bisa dilimpahkan pada Dinas Kesehatan semata, melainkan memerlukan sinergisitas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain yang terkait. Problemnya kemudian, pemerintah daerah kerap malu dna tercoreng jika membeberkan fakta-fakta tentang ODHA di wilayahnya.
“Kami tidak optimis HIV dan Aids akan ditangani baik, selama OPD-OPD yang ada juga menutup diri atas isu ini. Sehingga upaya untuk mendeteksi mereka yang terinfeksi sulit dilakukan,” tukasnya.
Sementara di lokasi yang sama, Koordinator Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Banten, Jordan Jempormase, memaparkan, jika wilayah Banten masuk kategori Epidemi terkonsentrasi, yang berarti penularan HIV-Aids secara massif terjadi pada kelompok beresiko.
“Kelompok beresiko itu antara lain, wanita pekerja seks, pengguna narkoba jarum suntik, gay, waria, lelaki beresiko tinggi (pelanggan PSK atau Waria), serta pasangan beresiko (pasangangan gay, pasangan narkoba suntik),” ungkap Jordan.
Disampaikan Jordan, jumlah ibu rumah tangga di Provinsi Banten yang terinfeksi HIV-Aids mencapai 12,4 persen dari total 6.118 ODHA, atau sekira 734 orang. Dengan usia rentan paling banyak terinfeksi pada umur 25 hingga 49 tahun.
“Angka itu fantastis, padahal mereka ibu rumah tangga yang baik-baik, bukan kelompok beresiko. Itu terakhir bulan Oktober 2018 kemarin. Sekarang kalau pemerintah daerah melalui OPD nya masih tak support, separuh hati menangani ini, maka angka itu bukan tidak mungkin akan terus bertambah,” tandasnya.(bli)