Monitor, Tangsel – Tragedi kemanusiaan yang dialami muslim Uighur membuat dunia internasional bereaksi. Tanpa terkecuali Indonesia, negara muslim terbesar di dunia ini mengambil langkah-langkah diplomatik lunak terhadap pemerintah Tiongkok.
Tak hanya pemerintah yang mengambil sikap soal etnis muslim Uighur itu, kalangan relawan dalam negeri bahkan lebih dulu bergerak swadaya menggalang donasi dan bantuan guna disalurkan kepada muslim Uighur.
Ada jutaan warga etnis muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang. Mereka dikabarkan mengalami refresi aparat Tiongkok melalui kebijakan yang diterapkan. Lebih mengerikan lagi, negara komunis itu dilaporkan menahan satu juta muslim Uighur di sebuah Kamp Konsentrasi.
Meski dikecam dunia internasional, namun pemerintah Tiongkok membantah adanya pelanggaran HAM berat terhadap etnis muslim Uighur. Di sisi lain, pemerintahan Tiongkok mengawasi ketat serta membatasi akses para relawan menyalurkan bantuan.
“Kita meyakini dari data-data valid yang dilansir oleh Amnesty International dan lembaga-lembaga yang sudah melakukan proses investigasi sudah menemukan terjadinya pembentukan kamp konsentrasi di Uighur,” tutur Ibnu Khajar, Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) usai diskusi bertema “Tragedi Uighur Fakta atau Hoax?” di Serpong, Tangerang Selatan, Senin (3/2/2020).
“Maka kita ingin peduli kepada keluarganya, yang saat ini beberapa keluarganya mengungsi ke wilayah-wilayah di luar Xinjiang, ada di Uzbekistan, di Turki, di tempat-tempat yang lain,” imbuhnya.
Menunjukkan empati kepada etnis muslim Uighur, relawan ACT berupaya menembus Xinjiang guna menyerahkan bantuan dan donasi yang terkumpul. Sayangnya, aparat Tiongkok melarang relawan asing masuk lebih dekat ke Xinjiang.
“Kita ingin berikan bantuan beasiswa kepada anak-anaknya, bantuan biaya hidup kepada keluarganya. Alhamdulillah bantuan dari umat islam Indonesia telah mulai kita salurkan kepada mereka, bantuan biaya hidup, bantuan agar mereka memiliki keahlian. Bantuan-bantuan kita ini hanya bisa diserahkan kepada mereka yang di luar Xinjiang,” jelasnya.
Ibnu Khajar pun menceritakan, bagaimana pengakuan relawan-relawan ACT menghadapi banyak kesulitan untuk mengenali etnis muslim Uighur. Mereka disebutkan mengalami trauma psikologis berat, lantaran tak berani terang-terangan menunjukkan aktifitasnya sebagai penganut muslim.
“Kita datang mengucapkan salam kepada mereka, lalu mereka untuk menjawab salam itu harus lirik kiri dan kanan, begitu takutnya mereka diawasi. Begitupun saat kita masuk ke masjid, bertanya identitas segala macam guna mendata penyaluran bantuan, mereka langsung merasa ketakutan dan membubarkan diri, kita menyebut Uighur saja mereka nggak berani merespon,” ungkapnya.
Beberapa waktu lalu, kelompok HAM termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch memberikan laporan kepada komite PBB mengenai penahanan massal di Kamp Konsentrasi. Di sana, para tahanan dipaksa dan dicuci otak agar tunduk pada ideologi komunisme.
Sementara menambahkan itu, Forum Dewan Kemanan Masjid (DKM) Kota Tangsel mengajak umat islam mengumpulkan bantuan bagi muslim Uighur. Disampaikan pula, bahwa tragedi Uighur adalah fakta di mana terjadi kekerasan oleh negara terhadap etnis muslim di Xinjiang.
“Diskusi membahas situasi sebenarnya di Uighur ini penting, untuk mengedukasi masyarakat pula bahwa tragedi di sana itu fakta. Kan ada juga beberapa ormas di Indonesia yang berkunjung ke sana dan menyebut di sana biasa-biasa saja. Kelemahannya, mereka yang mengecek ke sana tidak memiliki kapasitas untuk investigasi. Sehingga apa yang ditunjukkan pemerintah Tiongkok hanya luarnya saja, yang ditunjukkan itu ada pelatihan menjahit, pelatihan BLK, dan sebagainya,” ungkapnya.(bli)