Monitor, Setu – Mantan Presiden Indonesia ketiga, Profesor BJ Habibie turut menghadiri diskusi Dewan Riset Nasional (DRN) yang berlangsung di Gedung Graha Widya Bhakti, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Setu, Tangerang Selatan, Senin (6/8/2018) sore.
Dalam paparannya, BJ Habibie menekankan betapa pentingnya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menentukan masa depan bangsa. Menopang itu, kata dia, perlu ada keseriusan dalam menambah jumlah anggaran bagi riset-riset yang dilakukan. Sehingga, SDM Indonesia tidak tertinggal.
“Saya ingin menyampaikan, masa depan bangsa ini tergantung dari SDM-nya. Dulu saya pernah berfikir, bagaimana saya bisa unggul (cerdas) kalau anggarannya (riset) terbatas. Tidak bisa berkembang, makanya saya pergi ke Jerman, menyerap teknologi disana,” jelasnya.
Habibie sempat bercerita, bagaimana tekad kerasnya untuk belajar teknologi membuat dia berhasil menuntaskan gelar S3 pada usia 30 tahun. Lalu melanjutkan bekerja pada perusahaan penerbangan di Jerman. Menurutnya, semua itu di lakukan agar saat kembali ke tanah air dapat memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara dalam hal teknologi.
“Saya tamat S3 tahun 1964. Saya pernah diminta oleh Presiden Soekarno memperjuangkan tentang aturan menjadi Presiden seumur hidup, tapi saya menolak, bukan karena saya menganggapnya lawan politik, tapi karena tekad saya saat itu adalah bagaimana mengisi kemerdekaan dengan bidang (Iptek) yang saya kuasai,” imbuhnya.
Dalam diskusi mengenai riset nasional itu, turut hadir Menristekdikti Mohamad Nasir, Sekretaris Jenderal (Sesjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) Letjen TNI Doni Monardo, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnusubroto, dan Ketua DRN Bambang Setiadi.
Kemenristekdikti sebagai Kementerian terkait telah mendorong agar riset, ilmu pengetahuan, dan teknologi tak berhenti pada produk Invensi saja, namun harus pula berujung pada produk Inovasi. Dengan begitu, peneliti bisa mendapatkan hasil riset yang diinginkan, di sisi lain kemampuan industri untuk berkembang juga semakin terbuka lebar.
“Total biaya riset tahun 2017 mencapai Rp24,9 triliun, ternyata hanya menghasilkan riset senilai Rp10,9 triliun, karena berbasisnya bukan pada output yg jelas. Dulu riset itu tidak masuk dalam konsep barang dan jasa, tapi setelah keluar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 thn 2017, maka penelitian tidak lagi dipersulit oleh pertimbangan keuangan,” ungkap Mohamad Nasir, Menristekdikti.
Dikatakan Nasir, pemerintah telah menyiapkan berbagai regulasi untuk mendukung penguatan dan percepatan pengembangan Iptek dan Inovasi. Salah satu regulasi yang telah dibuat adalah aturan yang mengubah aktivitas riset dari ‘Activity Base’ menjadi ‘Output Base’.
“Cara pandang pengelolaan riset sebagai ‘Activity Base’ membuat pertanggungjawaban administrasi lebih rumit dibanding risetnya itu sendiri,” pungkasnya.(bli)