Monitor, Tangsel – Keberadaan panti pijat tradisional di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) tumbuh subur seiring pesatnya pembangunan daerah yang menjadi penyangga Ibu Kota Jakarta itu. Tak hanya di pusat keramaian, panti pijat kini mudah ditemui hingga masuk ke dalam gang-gang pemukiman warga.
Namun dari sekian banyak panti pijat itu, hanya segelintir kecil yang usahanya resmi mengantongi ijin dari dinas terkait. Sedang sebagian besar sisanya, merupakan usaha ilegal atau lazim disebut prostitusi bertopeng pijat tradisional.
Bisnis lendir semacam ini memang begitu menggiurkan. Bayangkan, untuk kategori kelas pijat tradisional kecil saja pemiliknya mematok harga sekira Rp150 ribu per satu jam pelayanan. Biaya itu belum ditambah dengan jasa esek-esek di dalam kamar, yang harganya antara Rp200 ribu hingga Rp350 ribu.
Pengakuan beberapa pemilik panti pijat, setiap hari sedikitnya mereka menerima sekira 30 hingga 50 pelanggan. Jumlah itu akan meningkat pesat jika memasuki hari libur atau akhir pekan. Dengan kata lain, sang “mami” atau istilah bagi pemilik usaha akan mengantongi pendapatan bersih jutaan rupiah tiap harinya.
“Sehari bisa 50 tamu, nggak sampai 100-an lah. Kalau biayanya di sini Rp150 ribu buat pijat, kalau yang lainnya saya nggak tahu, kan itu urusan di dalam (kamar). Jadi saya tahu nya ya buat pijat kesehatan saja,” terang Mami Titin, pemilik griya pijat Mandiri Utama yang terletak di jalan RE Martadinata, pasar Cimanggis, Ciputat, Tangsel.
Pada Senin 28 Oktober 2019, griya pijat Mandiri Utama digerebek Satpol PP. Meski razia telah bocor, namun petugas tetap berhasil mengamankan 8 terapis dan sejumlah kondom. Bahkan petugas juga mendapati tumpukan kondom dan tisu bekas pakai di sudut kamar. Padahal beberapa waktu lalu, lokasi itu pernah pula dirazia.
“Jadi kita amankan juga kondom dari terapis, ada yang masih baru, ada juga yang bekas pakai. Tadi kita sudah temui pemiliknya, dan intinya pemilik tidak bisa menunjukkan surat apapun tentang perijinannya, TDUP (Tanda Daftar Usaha Pariwisata) tidak ada, yang lain juga tidak ada,” tegas Sapta Mulyana, Kabid Penegakan Perundang-undangan Satpol PP Kota Tangsel.
Meski Satpol PP sering merazia, namun praktik usaha pijat esek-esek tetap menjamur di Tangsel. Kucing-kucingan pun terjadi, saat dirazia pemilik panti pijat menutup usahanya. Tapi jika petugas telah pergi, usaha lendir itu buka kembali melayani tamu hingga larut malam.
Kondisi demikian, disebut terjadi lantaran petugas terkesan tebang pilih dalam menertibkan panti pijat ilegal yang ada. Dikatakan, hanya satu atau dua tempat yang dirazia dan disegel, sedang kebanyakan tempat pijat ilegal lainnya dibiarkan terus beroperasi.
“Kesan tebang pilih dalam razia ini memang sulit dibantah. Publik sepertinya sudah mafhum (memahami) soal tebang pilih razia panti pijat di kota ini. Secara normatif, pangkal penyebabnya karena tidak adanya kepastian hukum. Apa yang menjadi acuan atau parameter sehingga panti pijat tertentu itu dirazia, dan panti pijat lainnya tidak dirazia,” ujar Abdul Hamim Jauzie, Ketua LBH Keadilan, Rabu (30/10/2019).
Menurut Hamim, aparat sering kali berlindung pada kewenangan diskresi dalam mengeksekusi penegakan Peraturan Daerah (Perda) terhadap panti pijat tertentu. Namun tetap saja, lanjut dia, harus ada parameter atau pedoman dalam menggunakan kewenangan diskresi tersebut.
“Sehingga diskresi yang menjadi kewenangan aparat tersebut tidak disalahgunakan,” tambah Hamim.
Lebih lanjut diungkap Hamim, menjamurnya pijat-pijat ilegal diduga kuat akibat adanya oknum-oknum yang berdiri di belakang usaha itu. Bocornya setiap razia yang digelar, mengindikasikan adanya “beking” aparat yang menjadi informan bagi pemilik panti pijat.
“Sehingga rencana razia kerap kali bocor dan informasi telah sampai ke telinga pemilik. Sehingga tidak heran, saat petugas datang ke lokasi, panti sudah ditutup oleh pemilik. Kepala Satpol PP seharusnya melakukan audit investigasi untuk mencari tahu siapa aparat yang menjadi informan pemilik panti. Harus ada evaluasi!,” pungkasnya.(bli/mt01)