Monitor, Tangsel- Bekerjasama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan, Fakultas Hukum Universitas Pamulang(Unpam) menggelar kegiatan terkait perlindungan anak bertemakan “Negara, Perlindungan Anak, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Internet” di kelurahan Pondok Ranji, Ciputat Timur, Minggu (23/12/2018)
Acara yang dihadiri warga setempat dan sejumlah mahasiswa fakultas hukum Unpam ini diselenggarakan berdasarkan pengaduan langsung oleh warga tentang dugaan praktik perdagangan anak untuk tujuan seksual dan komersil.
Pada kesempatan tersebut, Ketua P2TP2A Tangsel, Herlina Mustikasari menjelaskan terkait pentingnya peranan semua pihak terhadap perlindungan anak. Hal sama diungkapkan pemateri lainnya yang juga Wakil Ketua P2TP2A Tangsel,
Listya Windyarti.
Dalam paparannya, Listya menekankan peran penting orang tua untuk menghargai pendapat anak. Perlakuan terhadap anak saat mereka membutuhkan orang tua, sambung Listya, misalnya mengajak mereka berbicara dengan sikap memperhatikan dan menyimak pendapatnya, tentu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perkembangan anak kedepan.
“Gesture tubuh orang tua menjadi penting agar anak merasa dihargai dan memungkinkan orang tua menjadi role model bagi si anak tersebut,” ujar Listya.
Kepada masyarakat, Listya juga menghimbau untuk berani melaporkan kepada pemerintah apabila terjadi tindak kekerasan terhadap anak.
“Kita punya Satuan Tugas (SATGAS) Anak dan memiliki P2TP2A. Selain itu, kita juga mengetahui pentingnya hak-hak anak, seperti tidak boleh didiskriminasi dan harus dihormati kepentingan terbaik mereka. Termasuk hak-haknya bila berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku atau korban,” terangnya.
Sementara itu, Chessa Ario Jani Purnomo selaku Dosen Fakultas Hukum Unpam yang menjadi pembicara kunci menjelaskan, tindak pidana perdagangan orang bukan berarti tindak pidana perdagangan anak. Sebab pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (TPPO) ada ketidakjelasan definisi terkait perdagangan anak.
Unsur ‘dengan cara apapun’, kata Chessa, memastikan bahwa unsur perdagangan anak masuk dalam pasal ini.
Dikatakan Chessa, praktik kriminalisasi untuk menjerat orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan seksual melalui internet, penegak hukum menyandarkan pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang ITE (UU ITE). Disini juga kata “kesusilaan” ditafsirkan secara luas dan menjadi krusial apakah bisa diterapkan untuk perdagangan anak secara seksual dan/atau komersial”, ujar Chessa.
Pada kesempatan yang sama Feb Amni Hayati, selaku sekertaris P2TP2A Tangsel mengingatkan kembali peran masyarakat dalam 3L (Lihat, Lapor dan Lindungi).
“Lihat, artinya harus menjadi garda terdepan yang dapat melihat gejala-gejala ketidaknormalan di tengah-tengah masyarakat.
Lapor, artinya masyarakat harus berani melaporkan segala bentuk tindakan kekerasan pada lembaga-lembaga berwenang seperti P2TP2A atau satuan-satuan tugas yang ada seperti Satgas Anak, PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dan PATBM (Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat).
Dan Lindungi, artinya ketika mendapatkan laporan tentang bentuk kekerasan, maka masyarakat harus bisa melindungi korban, termasuk kerahasiaan identitas mereka,”tandasnya.(mt01)