Monitor, Tangsel – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mendeklarasikan pelarangan rumah ibadah dijadikan tempat berkampanye politik, penyebaran isu hoax, SARA dan radikalisme, Kamis (21/2/2019).
Deklarasi dilaksanakan di 3 tempat perwakilan rumah ibadah, yakni Gereja Katolik Santo Laurensius, Alam Sutera. Lalu berlanjut ke Masjid Nur Asmaul Husna yang juga berada di kawasan Alam Sutera, dan berakhir di Klenteng Konghucu, Pondok Jagung.
Deklarasi itu, berkaitan dengan ketentuan kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 32 Tahun 2018, tentang perubahan atas PKPU Nomor 7 tahun 2017 tentang Tahapan, Jadwal, Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019, dan PKPU Nomor 28 Tahun 2018 tentang perubahan atas PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu.
“Kampanye adalah bagian dari pendidikan politik, dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Semua itu sudah diatur dalam PKPU, sehingga sekarang kita deklarasikan bersama-sama bahwa rumah ibadah dilarang dijadikan tempat berkampanye,” kata Bambang Dwitoro, Ketua KPU Tangsel.
selain Ketua KPU Tangsel, turut hadir Bawaslu Kota, dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah(Forkopimda) seperti Wali Kota Airin, Kapolres AKBP Ferdy Irawan,Dandim 0506Tangerang, LetkolInfanteri Faisol Izuddin, Kajari Bima suprayoga.
Baca Juga : Airin : Rumah Ibadah Harus Steril dari Kepentingan Politik
Ketua Bawaslu Tangsel, M Acep mengungkapkan, hingga saat ini telah ada pengaduan tentang masjid dan gereja yang dijadikan tempat berkampanye politik. Namun pengaduan itu hanya sebatas kiriman berupa rekaman video, tanpa menyertakan bukti dan data pendukung lainnya.
“Yang kita dapat itu bukan hanya di masjid, di gereja pun ada. Videonya juga sudah ada yang kirim ke kita. Cuma memang masyarakat ini takut melapor, saya nggak tahu takut karena apa, cuma mengirimkan video. Sehingga kita harus mencari saksi-saksi dan faktanya sendiri,” ungkap Acep.
Dilanjutkan Acep, dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dibeberkan, bahwa pelaksana kampanye ataupun tim kampanye tak boleh melakukan kegiatan kampanye di rumah ibadah. Meski begitu, disebutkannya, secara individu para pengurus rumah ibadah tersebut tetap boleh memberikan dukungan politik kepada calon manapun.
“Maka tidak semena-mena juga semua kegiatan di rumah ibadah itu pelanggaran.
Misalnya pengurus masjid, pengurus gereja, jadi tim kampanye boleh atau tidak? ya boleh, yang tidak boleh itu berkampanye di rumah ibadahnya,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, pada Bab VIII Pasal 69 PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu menjelaskan mengenai larangan dan sanksi. Dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dijelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Adapun, apabila terdapat pelanggaran, maka berdasarkan Pasal 76 ayat (3) PKPU Nomor 23 Tahun 2018 disebutkan, bahwa pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dapat dikenai sanksi: a. Peringatan tertulis, dan b. Penghentian kegiatan kampanye.
“Pasal pelarangannya ada, soal sangsinya harus dilihat ada unsur atau tidak. Kalau ada unsurnya, bisa diberikan sangsi, misalnya ; menyampaikan visi misi, mengajak orang untuk memilih pasangan atau calon tertentu, atau mungkin ada atribut-atribut kampanye,” ucap Acep.
Sementara, Wali Kota Airin menyampaikan, bahwa semakin mendekati hari H pencoblosan pada tanggal 17 April 2019 nanti, maka tidak menutup kemungkinan suasana persaingan terasa semakin kencang di tingkat bawah. Oleh karena itu, dia mengimbau para pemuka agama, seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya agar betul-betul menjaga ketentuan yang telah diatur oleh pelaksana Pemilu.
“Ada sekira 600-an rumah ibadah, baik itu masjid, gereja, vihara, klenteng, pura, ataupun yang lainnya. Kita minta untuk menyampaikan kepada ummatnya dengan penuh kedamaian, apalagi sekarang kan kampanyenya panjang sekali. Dan juga untuk menolak hoax dan radikalisme,” tukas Airin.(bli)