Monitor, Tangsel- Keluarga almarhumah Niswatul Umma, mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tewas terlindas truk di Jalan Graha Raya Bintaro, Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel), mengungkap kekecewaan atas pernyataan polisi yang menyebut jika putrinya sebagai tersangka.
Ditemui Monitor di kediamannya, Kampung duren sawit, Tajur, Ciledug, Kota Tangerang. Sang ibu, Suti (32), merasa tak terima jika almarhumah putri tercinta dianggap lalai hingga menyebabkan kecelakaan maut pada tanggal 14 Oktober 2019.
Kecelakaan itu terjadi di Jalan Graha Raya Bintaro, Pondok Aren, Tangsel, sekira pukul 15.30 WIB. Saat kejadian, Niswatul tengah dalam perjalanan pulang ke rumah selepas menyelesaikan tugas kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum.
“Ini tak adil, sudah jadi korban tapi disebut tersangka,” tegasnya, Sabtu (16/11/2019).
Di hari kejadian, Niswatul melintas di lokasi mengendarai sepeda motor Honda Scoopy warna merah bernomor polisi B 6274 VNM. Hasil penyelidikan polisi menyatakan, kendaraannya hendak menyalip seunit truk tanah merek Hino bernopol B 9569 CQA di lajur sebelah kanan.
Karena tak bisa menyalip, lantas dikatakan jika sepeda motor korban menabrak seunit truk tanah lainnya yang terparkir di lajur kiri jalan. Begitu terjatuh, tubuh korban langsung dilindas roda truk hingga terseret sejauh 14 meter. Tanpa ampun, mahasiswi berwajah ayu itu tewas seketika di lokasi.
“Kita memang sudah ikhlas dengan kepergiannya, mungkin ini sudah garis nasib. Kita manusia tidak ada yang bisa menolak takdir. Tapi jangan juga mengeluarkan pernyataan yang menambah duka kami, kenapa anak kami yang dikatakan bersalah,” terang Suti.
Sopir truk tanah, Madrais, sempat diamankan guna dimintai keterangan oleh Polres Tangsel. Namun beberapa hari kemudian dia dibebaskan setelah bos perusahaan tempatnya bekerja ikut turun tangan membantu penyelesaian kasus itu.
Sopir truk yang terlepas dari jeratan hukum serta korban tewas yang disebut sebagai tersangka, menggugah rasa keadilan keluarga. Lantas Suti pun memertanyakan, kenapa lalu-lalang truk besar pengangkut tanah tetap beroperasi pada jam padat lalu lintas. Padahal kondisi demikian, dianggap jadi pemicu gangguan di jalan bagi pengendara lain.
“Kenapa salahkan anak saya, harusnya justru truk-truk besar itu tidak beroperasi pada jam-jam sibuk,” ungkapnya.
Korban sendiri merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Kakaknya yang pertama bernama Wahyu Deni Ramadhan (21), kini masih kuliah di daerah Cepu, Jawa Tengah. Sedang adiknya, Viki Fadilah Ramadhan (9) tengah duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Monitor sempat berbincang panjang dengan Suti di ruang tamu rumah. Sayangnya, ayah korban bernama Miftahudin (47) tak bisa mendampingi karena sedang bekerja. Hanya nampak beberapa perwakilan dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) yang sedang berkunjung menanyakan kelanjutan kasus tersebut.
Di ruang tamu itu, terdapat sepeda motor korban yang terparkir rapih. Beberapa bagian depannya yang rusak akibat kecelakaan, telah diperbaiki. Sepertinya, pihak keluarga sengaja membiarkan motor korban tak digunakan untuk mengenang masa-masa saat masih bersama.
“Ini (motor) sudah diperbaiki, sudah dibawa ke bengkel. Jadi masih berasa ada, kalau sore kadang inget alamarhumah sering bercanda sama adiknya, masih seperti ada aja. Coba bayangkan, sebegitu besar rasa kehilangan itu, nggak mungkin terbayar dengan apapun,” tutur Suti.
Sejak awal kejadian, Permahi melakukan pendampingan atas kasus itu. Bahkan terakhir mereka mensomasi Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel soal Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pengaturan Waktu Operasional Kendaraan Angkutan Barang.
Dalam Perwal itu diterangkan, jika jam operasional truk bertonase besar dimulai sejak pukul 21.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB. Namun ketentuan tersebut hanya berlaku di Jalan Pahlawan Seribu, Serpong. Sebab itulah, Permahi dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN mendesak peraturan diperluas ke wilayah lain.
Ketua Dema UIN Jakarta, Sultan Rivandi, mengkritik pola penyelidikan oleh kepolisian yang justru menyebut korban sebagai tersangka. Karena kata dia, jika tak ada transparansi dan klarifikasi atas kasus itu, bisa menyebabkan kemarahan seluruh elemen mahasiswa UIN Jakarta yang berujung aksi turun ke jalan.
“Saya cukup aneh ketika mengetahui hasil pemeriksaan yang menetapkan adik saya di UIN Jakarta yang meninggal dunia menjadi tersangka. Apalagi kalau sampai disebutkan karena kelalaian. Bagaimana mungkin bisa disebut lalai, padahal jelas-jelas operasional truk besar melanggar Undang Undang,” ucapnya.
“Saya mengimbau kepada Polres Tangsel untuk menegakkan keadilan dalam kasus kecelakaan ini. Jangan sampai membuat semua mahasiswa UIN Jakarta marah, karena ada proses yang tidak adil dalam pemeriksaan kasus kecelakaan ini,” tandasnya.
Sebelumnya, pihak kepolisian Unit Kecelakaan Lalu Lintas menjelaskan kronologis tewasnya mahasiswi UIN Jakarta yang terlindas truk di kawasan Bintaro beberapa waktu lalu. Disebutkan, peristiwa itu terjadi karena kelalaian korban yang tak fokus saat berkendara.
“Kemudian kita lakukan penyelidikan mendalam, kita periksa saksi-saksi, kita gelar perkara juga di TKP. Sehingga sebenarnya korban ini yang tersangka, karena tak fokus hingga kendaraannya menabrak truk yang terparkir. Tapi pihak truk mau membantu secara kekeluargaan, kita mediasi, ada bantuan kepada keluarga korban,” jelas Dhady Arsya, Kanit Laka Lantas Polres Tangsel di ruang kerjanya.(bli)