Monitor, Tangsel – Kebaya merupakan pakaian khas tradisional perempuan Indonesia. Keberadaannya diidentikkan pula dengan keselarasan saat ajaran Islam memasuki nusantara, dimana kebaya bisa melengkapi pakaian yang ada guna menutup aurat.
Kebaya sendiri merupakan lambang identitas dari bangsa Indonesia yang secara turun temurun digunakan sejak zaman kerajaan di Indonesia. Pada awalnya, kebaya hanya digunakan perempuan yang memiliki darah biru, namun seiring dengan perkembangan zaman saat ini semua lapisan masyarakat telah dapat mengenakannya pula.
Namun kini muncul keprihatinan, dimana perubahan zaman membuat sebagian orang mengelu-elukan trend fashion pergaulan kekinian. Bahkan situasi itu, membuat generasi penerus bangsa nyaris lupa dengan keunggulan budayanya sendiri.
Mencegah itu, harus ada upaya kuat menanamkan kembali kecintaan pada kebaya sebagai warisan nusantara, terutama pada generasi milenial. Kebaya tak hanya diartikan sebagai pakaian tradisional penutup tubuh, tapi juga sebagai alat pemersatu bagi perempuan di Indonesia.
“Setelah saya berkeliling berkebaya dan berbincang panjang lebar dengan banyak orang, akhirnya barulah saya mengerti. Rupanya kebaya itu mempersatukan perempuan di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke,” ungkap Rahmi Hidayati, Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya, saat mengikuti perayaan Hari Kartini di Sekolah Al-Azhar BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (29/4/2019).
Menurut Rahmi, berkebaya adalah wujud apresiasi anak bangsa terhadap Indonesia. Dia pun sempat bercerita, bahwa perjalanannya ke berbagai daerah hingga luar negeri memberi kesimpulan bahwa Berkebaya melahirkan kedekatan emosional antar sesama anak bangsa.
“Saya pernah ke gunung Fak-Fak di Papua, ibu-ibunya menggunakan kebaya saat mengadakan acara. Saya baru tahu, wilayah yang berada pada ketinggian sekira 2 ribu MDPL (Meter Diatas Permukaan Laut) itu ternyata betuk-betul mengapresiasi kebaya dalam berbusana,” paparnya.
Lebih lanjut, dia menyampaikan pengalaman yang paling membuat jengkel dan membakar gelora nasionalismenya. Yaitu ketika mengikuti kegiatan internasional di Malaysia, di sana seluruh panitia terlihat kompak mengenakan seragam berupa kebaya.
“Waktu itu sekira tahun 2017, saya coba tanya ke panitianya, lalu mereka jawab dengan percaya diri bahwa seragam yang dikenakan ini adalah pakaian tradisional mereka. Itu membuat jengkel sekali, tapi ya mau bagaimana, kan saat itu belum ada ketetapan dari Unesco juga. Maka nya kita harus melakukan sesuatu dengan kebaya ini, agar tak diklaim oleh negara lain,” ujarnya.
Indonesia sendiri memiliki banyak jenis kebaya, diantaranya adalah kebaya Jawa, kebaya Kartini, kebaya Encim, kebaya Bali, kebaya Kutu Baru, hingga kebaya yang mengalami perpaduan trend tertentu seperti kebaya pengantin, kebaya muslimah, kebaya lengan pendek, dan kebaya gamis.
Perayaan Kartini di Sekolah Al-Azhar BSD hari ini mengambil tema ‘Perempuan dan Kain Tradisional”. Sebanyak 33 siswa dilibatkan di dalamnya, dengan memakai kebaya cantik berwarna pink. Upaya itu diharapkan menjadi stimulus sejak dini bagi generasi masa depan bangsa dalam melestarikan keberadaan kebaya ataupun kain tradisional lainnya di Indonesia.
“Jadi tema dan kegiatan ini sengaja kami ambil untuk menjawab keprihatinan atas kondisi perempuan Indonesia yang saat ini enggan mengenakan kain atau kebaya itu sendiri. Alasannya macam-macam, ribetlah, nggak trend-lah. Oleh karenanya dalam talkshow ini kita bahas soal kain tradisional itu,” ucap Evi Yuliza, Ketua Panitia Acara.(bli)