Monitor, Kota- ‘Perang Dingin’ antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly dengan Walikota Tangerang, Arief R Wismansyah, yang belakangan ramai mencuat ke publik, kiranya langsung memantik reaksi dari kalangan pemerhati wilayah setempat, Selasa (16/07/2019).
Ya, Pengamat Politik dan Pemerintahan Indonesia dari Lembaga Kajian Pemerintahan Indonesia (LKPI), Hasanudin Bije mengungkapkan, bahwa tak ada dalam aturan soal kewajiban pemerintah, baik daerah maupun pusat untuk penyerahan fasos fasum, dalam pembangunan gedung milik pemerintahan.
“Contohnya, Kemenkum HAM membangun Lapas (Lembaga Permasyarakatan), membangun Politeknik ga ada tuh aturannya yang mewajibkan Kemenkum HAM menyediakan fasos-fasum dari bangunan tersebut. Sama seperti Pemkot (Pemerintah Kota Tangerang) membangun Pusat Pemerintahan, membangun Gedung Cisadane, gak perlu menyediakan fasos fasum. Bagaimana sih, kok walikota gak ngerti,” kata Hasanuddin Bije, saat berbincang santai kepada para awak media.
Menurutnya, kewajiban itu hanyalah terhadap lahan Kemenkumham yang dijadikan sebagai kawasan permukiman saja.
“Yang wajib adalah kalau Komplek Kehakiman nya, ya tuh wajib ada fasos fasum. Tapi komplek kehakiman cuma berapa luas sih,” kata pria yang akrab disapa Bije ini.
Pemkot Tangerang, lanjut Bije, dalam hal ini, khususnya Walikota Tangerang, sedianya juga harus seimbang dalam melakukan penegakan aturannya.
“Modernland (Perumahan), Taman Royal tuh sampai sekarang jalannya gak bisa di bangun karena (fasos fasum) belum di selesaikan,” sindirnya.
Pria yang aktif menyoroti berbagai persoalan dan kebijakan pemerintah ini, bahkan mengajak para insan pers untuk menanyakan dasar hukum terkait bangunan pemerintah yang harus mengeluarkan lahan untuk fasus fasum, seperti yang tengah di kejar Pemkot Tangerang kepada pihak Kemenkumham.
“Coba tanya ke walikota atau ke bagian hukum, apa dasar hukumnya kalau bangunan pemerintah harus ngeluarin pasos pasum,” ucapnya.
Lebih lanjut Bije menjelaskan, ketidakharmonisan antara Pemkot Tangerang dan Kemenkum HAM ini sesungguhnya bukan hal baru.
Perang dingin kedua instansi itu dimulai sejak tahun 2001 kemudian meningkat ketegangannya pada tahun 2008 dan puncaknya terjadi pada saat ini.
“Saling menunjukan kesombongannya sebagai penguasa. Sesungguh hal ini tidak perlu terjadi karena tidak pantas terlihat dan terdengar oleh masyarakat,” imbuhnya.
Penyebab perang urat saraf itu kata Bije, salahsatunya adalah karena soal penyerobotan lahan yang dilakukan Pemkot Tangerang terhadap lahan milik Kemenkum HAM.
Penyerobotan lahan yang ber ulang-ulang oleh Pemkot Tangerang itulah yang membuat geram Menkumham. Meskipun Menkumham tahu bahwa penyerobotan lahan oleh Pemkot Tangerang itu untuk kepentingan publik.
Namun, prilaku dan kebijakan itu adalah sebuah kesalahan, karena melanggar etika dalam menata dan menggelola pemerintahan daerah. Bahkan bisa jadi pelanggaran hukum terhadap Walikota Tangerang sebagai pengambil kebijakan.
“Ketegangan yang memuncak ini terjadi pada saat Menkumham membangun gedung politeknik dilahan miliknya. Tapi Pemkot Tangerang tidak mau mengeluarkan izinnya. Bahkan sempat disegel,” terangnya
Tidak dikeluarkannya izin pembangunan Gedung Politeknik yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Pusat Pemerintahan Kota Tangerang itu, kata Bije, karena pihak Kemenkum HAM sampai saat ini tidak mau menyerahkan lahan miliknya yang telah dibangun Gedung MUI, Gedung Dinas Perijinan sekarang Badan Penanamam Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) serta Gedung SD Sukasari.
“Ketegangan dua instansi ini terjadi karena kelemahan dan ketidakmampuan Pemkot Tangerang dalam meloby dan menegosiasikan kepada pihak Menkumham” pungkasnya. (ben)