Monitor, Tangsel – Kasus dugaan Pungli di lingkungan SMPN 4 Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel) mulai berani disuarakan para wali murid. Mereka kesal lantaran hingga pada saat pengambilan ijazah, sempat dibebankan sejumlah uang pungutan yang harus dilunasi.
Beberapa wali murid mengungkap jika sejak awal proses masuk SMPN 4 sudah disodorkan kesepakatan untuk membayar sejumlah uang yang disebut sebagai uang donasi. Kisarannya disebutkan cukup variatif, dari mulai Rp1 juta, Rp5juta hingga Rp7 jutaan.
Karena khawatir dengan kelancaran belajar-mengajar anak-anaknya nanti, lalu dengan berat hati wali murid menyanggupi pembayaran uang donasi. Meskipun belakangan pihak sekolah berdalih, bahwa uang donasi itu merupakan pemberian sukarela tanpa paksaan.
Tak cukup di situ, Pungli kembali diterapkan kepada siswa-siswi SMPN 4 manakala kegiatan sekolah telah berjalan. Di antara yang dikutip adalah, uang kesejahteraan Rp300 ribu, uang perpustakaan Rp50 ribu perbulan, uang komputer Rp50 ribu perbulan, dan uang kas Rp5 ribu yang ditarik perminggu.
“Setelah masuk, ternyata banyak lagi pungutan-pungutan itu. Jadi dalihnya pakai nama komite sekolah, padahal kita nggak diajak pembahasannya, tiba-tiba ada kesepakatan seperti itu aja,” ungkap wali murid berinisial T kepada wartawan, Selasa (7/10/2019).
Para wali murid mengkui, bahwa awalnya mereka hanya menurut saja dengan ketentuan itu. Tak ada protes yang dilontarkan, lantaran mereka khawatir jika aktifitas anak-anaknya di sekolah bakal dipersulit karena menentang kesepakatan “gelap” yang tertuang mengatasnamakan komite sekolah.
“Nggak ada yang berani mau protes soal pungutan itu, nanti takutnya malah dikucilkan, terus anak-anak kita terganggu belajarnya di sekolah. Sekarang kita buka suara karena ijazah anak kita nggak bisa diambil sebelum melunasi pungutan-pungutan itu. Alhamdulillah kemarin setelah ramai wartawan memberitakan ini, jadi semua pungutan tidak ada, ijazah akhirnya bisa diambil,” jelasnya
Pihak sekolah sempat membantah, mereka beralasan jika pungutan uang perpustakaan, komputer, uang kas dan uang donasi semuanya digunakan untuk kebutuhan sekolah atas inisiatif komite. Bahkan dikatakan, semua itu dipungut karena minimnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun BOS Daerah (BOSDa) yang diterima.
“Dana BOS-BOSDa nggak cukup,” ucap Aris Munandar, Humas SMPN 4 Tangsel beberapa hari lalu.
Menyikapi itu, sejumlah kalangan mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas tanpa pandang bulu. Mengingat Kepala sekolah (Kepsek) SMPN 4 Rita Juwita merupakan orang dekat Wali Kota Airin Rachmi Diany. Rita menjabat pula sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Tangsel.
“Kami mendesak Polres Tangsel untuk menyelidiki kasus tersebut sebagai upaya komitmen membrantas pungli,” jelas Jufry Nugroho, Wakil Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (Truth) dikonfirmasi terpisah.
Dia menilai, dugaan adanya ijazah yang ditahah karena belum membayar sejumlah pungutan di SMPN 4, sangat kontradiktif dengan diraihnya penghargaan oleh Wali Kota Airin terkait konsistensi pelayanan publik baru-baru ini.
“Sejatinya pelayanan publik di seluruh bidang dan aspek manapun harusnya menjadi perhatian, terutama pendidikan. Evaluasi total harus dilakukan oleh Wali Kota Airin sebagai langkah serius dalam memberantas banyaknya kasus pungli yang tak kunjung terselesaikan,” terang Jufri.
Masih kata Jufri, Pungli masih terjadi di lingkungan sekolah lantaran pihak terkait tidak menjalani fungsi sebagaimana mestinya. Sehingga praktik-praktik Pungli terus mencuat di lingkungan sekolah hingga terakhir disebutkan berdampak pada penahanan ijazah siswanya.
“Tentu pertanyaannya, pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan berjalan atau tidak?, jangan sampai reaksioner tanpa ada upaya preventif yang dilakukan dalam mencegah perilaku koruptif semacam pungli itu,” tegasnya.(bli)