Revolusi Industri 4.0, Generasi Muda Harus Banyak Berinovasi Kejar Ketertinggalan

oleh -
Pengamat Andrinof Chaniago saat mengisi diskusi publik era revolusi Industri 4.0 di Kampus UIN Jakarta, Rabu (30/5/2018) sore

Monitor, Ciputat-  Dunia pada saat ini tengah menghadapi era revolusi industri ke empat atau kini lazim disebut Revolusi Industri 4.0. Kondisi itu, ditandai dengan penggunaan mesin digital yang menyebabkan perubahan begitu cepat terhadap segala sektor kehidupan manusia.

Pemerintah sendiri telah meresmikan roadmap dalam rangka menghadapi Revolusi Industri 4.0, dengan istilah “Making Indonesia 4.0”. Konsep itu disusun oleh Kementrian Perindustrian untuk mengimplementasikan strategi Indonesia dalam menghadapi revolusi teknologi digital itu.

Tentu dalam “Making Indonesia 4.0”, pemerintah tak bisa berjalan sendiri. Mesti ada sinergisitas yang melibatkan seluruh elemen, baik swasta, akademisi, serta masyarakat umum lainnya. Terlebih lagi, targetnya adalah mempercepat visi pencapaian Indonesia menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Namun fakta dilapangan membuat kita semua gelisah, lantaran data yang ada menyebutkan jika tingkat produktiftas manusia Indonesia masih terbilang rendah di kawasan Asia. Jika demikian, kekhawatiran pun muncul mengenai kesiapan Indonesia dalam menjalani Revolusi Industri 4.0 saat ini.

Akademisi, sekaligus juga pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, memaparkan, generasi muda adalah kalangan yang paling berpengaruh terhadap perkembangan era digital. Sehingga memerlukan perubahan sikap mental, dari yang kurang produktif, kreatif dan inovatif menjadi produktif, kreatif dan inovatif.

“Ini adalah perubahan yang tidak bisa kita tahan. Sekarang kita bisa mengetahui banyak hal hanya dari handphone. Kalau dari segi skill dan mental tidak siap, kita akan tergilas. Kita harus melakukan terapi, karena itulah persoalan SDM di Indonesia,” paparnya saat mengisi diskusi publik bertema ‘Peran Generasi Muda Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan Ekonomi Digital’ di Kampus UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (30/5/2018).

Dijelaskan dia, pergeseran teknologi ke arah digitalisasi secara otomatis membawa dampak pula atas ketersediaan lapangan kerja. Semua kerja manusia akan dipangkas dan digantikan oleh mesin-mesin digital. Lalu penciptaan lapangan pekerjaan, akan dikuasai oleh negara yang kadar penyerapan teknologi digitalnya sudah lebih dari 90 persen, seperti Jepang, Korea, Amerika, bahkan Singapura.

“Kita sudah memasuki transaksi bebas, pasar bebas. Yang bisa membantu diri kita adalah skill, karena kita sudah tertinggal secara produktifitas dari negara lain. Kita harus punya nilai, nilai apa, mencari ide terobosan yang punya nilai lebih. Kita harus punya inisiatif dan mengeksekusi ide, harus jeli melihat peluang,” jelasnya di hadapan ratusan mahasiswa UIN yang hadir dalam diskusi itu.

Masih menurut Andrinof, pada tahun 1970-an kondisi perkembangan industri dan teknologi di Indonesia, Korea, Malaysia dan China, hampir merata. Bahkan ketika itu, posisi Indonesia sedikit lebih unggul. Kemudian tahun 1980, 1990, dan seterusnya, semua negara pesaing itu lama-lama menyalip Indonesia. Kini kondisinya justru berbalik, Indonesia yang tertinggal dari negara-negara itu.

“Kita ini sudah tertinggal oleh mereka, jadi jangan diisi oleh wacana-wacana yang kontra produktif. Solusinya menurut saya, pertama bentuk tim scientis yang terdiri dari para ilmuwan, lalu generasi muda, mahasiswa harus ditanamkan etos kerja baru, mindsetnya harus berubah untuk mengejar ketertinggalan,” imbuh Mantan Kepala Bappenas itu.(bli)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.