Monitor, Tangsel – Ustad Saiful Abror (37) adalah salah satu korban selamat dari terjangan tsunami di Perairan Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018 malam. Meski luput dari maut, namun beberapa bagian tubuhnya terlihat memar dan terluka akibat benturan benda keras saat kejadian.
Ustad Abror harus mengikhlaskan jika istrinya, Siti Nuralfisyah (35), serta dua anaknya, Nihlatuz Zahra (11) dan Muhammad Zein Karim (3), berpulang untuk selamanya. Sedangkan 2 anaknya yang lain, Muhamad Ali Ridho (4) dan Lutfatun Nisa (13), kini tengah dalam perawatan intensif di rumah sakit.
Diceritakan Ustad Abror, keluarganya dan beberapa keluarga lain di lingkungan Perumahan Bukit Nusa Indah, Serua, Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), datang berlibur ke Pantai Anyer pada Sabtu siang, sekira pukul 13.00 WIB.
Mereka lantas menyewa sebuah villa bernama Mutiara Carita dan berniat menginap satu malam disana. Seperti biasa, pada sore hari mereka bersama-sama bermain di tepi pantai, sambil menikmati cuaca yang dirasa cukup bersahabat.
“Tak ada tanda-tanda mencurigakan kalau akan terjadi tsunami, kita masih mandi, berenang di laut. Semua yang berlibur mandi semua,” ucap Ustad Abror, Selasa (24/12/2018).
Begitu memasuki waktu maghrib, dilanjutkannya, mereka kemudian kembali ke villa untuk menggelar shalat berjamaah dan makan malam bersama antar keluarga. Disela-sela itu, dibahas pula tentang pengembangan Pondok Pesantren Raudhatul Ishlah, dimana Ustad Abror adalah selaku pemilik Ponpes tersebut.
“Selesai salat maghrib, lalu dilanjut Isya berjamaah, kita lanjut makan malam, ada foto-foto mumpung momennya kumpul bersama. Setelah itu istirahat, yang ibu-ibu dan anak-anak masuk kamar, kita yang laki-laki ngobrol di ruang tamu, bincang-bincang seputar pesantren, masalah ibadah,” jelasnya.
Tak beberapa lama suasana berubah menjadi mencekam, Ustad Abror dan rekannya dikejutkan dengan datangnya gemuruh air laut pasang. Sejurus itu, tiba-tiba penjaga villa menelfon mereka agar bersiap-siap meninggalkan lokasi jika kondisi air pasang makin memburuk dan naik ke daratan.
“Kondisi mobil masih di parkiran, jadi harus diputar dulu posisinya agar kalau terjadi apa-apa sudah siap berangkat. Lalu saya ambil kunci mobil di kamar, dan saya minta istri saya jaga anak-anak dulu karena saya mau keluarkan posisi mobil,” imbuhnya.
Ketika baru menyalakan starter mobil, Ustad Abror mendengar bahwa gemuruh air makin terdengar kuat datang ke arah villanya. Dia pun lantas beranjak keluar dari mobil, hingga seketika terjangan bah tsunami menyapunya hingga terpental jauh dan terbawa arus air laut hingga ratusan meter.
“Baru sampai kaki saya menyentuh tanah (turun dari mobil), saya sudah disapu oleh air. Saya masih sadar Alhamdulillah, jadi sempat leher saya tersangkut di kabel listrik, masih ada setrumnya, tapi tetap saya pegang kuat kabelnya,” ungkapnya seraya menunjukkan lebam hitam akibat sengatan listrik di bagian leher dan tapak tangannya.
Dalam kondisi demikian, Ustad Abror memaksakan dirinya untuk bangkit dan menyingkirkan puing-puing yang menimpa. Selanjutnya dengan tergopoh-gopoh dia berlari menuju villa, mengecek kondisi anak dan istrinya.
“Saya lihat mobil saya sudah nyangkut di pohon, lalu saya cari keluarga saya. Anak saya yang tertua nyahut ‘abi (ayah) saya disini abi, abi, abi, tolong abi’. Saya langsung mendekat, ternyata anak saya tertimbun reruntuhan bangunan setinggi 2 meter. Saya nggak bisa berbuat apa-apa, saya nggak mampu, kayu batu luar biasa besar,” tuturnya sambil terisak menahan tangis mengingat peristiwa malam nahas itu.
Menurut Ustad Abror, ketika itu tak terhitung suara orang-orang meminta tolong dan rintihan kesakitan di sekitarnya. Kebanyakan korban tertimbun material besar, sehingga hanya memungkinkan dapat melakukan evakuasi dan pertolongan jika menggunakan alat berat.
“Semua berteriak minta tolong, saya sadar saya nggak punya kemampuan mengangkat puing-puing itu, saya hanya berdoa kepada Allah, ya Allah mohon bantuanmu ya Allah, selamatkan keluarga saya. Alhamdulillah mulai datang banyak orang, akhirnya bisa saya singkirkan satu demi satu puing-puing itu, dan menyelamatkan satu anak saya,” terangnya.
Selanjutnya dia bergegas menyelamatkan anaknya yang lain, dimana diketahui jika anaknya, Muhamad Ali Ridho, terdengar menangis di tengah tumpukan material yang lain. Begitu dihampiri, Ustad Abror berusaha menenangkan putranya itu agar tetap bertahan sampai bantuan datang.
“Medannya terlalu berat, saya bilang ‘abang (anak) abi nggak bisa menolong sekarang, abi nggak punya kemampuan mengangkat puing itu’. Sesekali dia menangis, nanti kalau capek dia berhenti, masih anak kecil. Dia ada di dalam lorong, jadi kesulitan mengevakuasinya, hampir 4 jam mengeluarkannya,” lanjutnya lagi.
Karena kesedihan mendalam, Ustad Abror tak mampu melanjutkan cerita kepiluan saat malam kejadian. Dia hanya meminta doa, agar ruh istri beserta kedua anaknya yang tewas diberi kelapangan, sedangkan anaknya yang kini dalam perawatan lekas diberi kesembuhan.
“Mudah-mudahan istri dan anak saya husnul khotimah, diterangkan dan dilapangkan kuburnya. Dan untuk Muhamad Ali Ridho dan Lutfatun Nisa mudah-mudahan dijadikan anak yang soleh dan solehah,” tukasnya.(bli/mt01)