Sistem Pengelolaan Buruk, TPA Cipeucang Tangsel Bahayakan Manusia dan Lingkungan

oleh -

Monitor, Tangsel- Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang jatuh pada Kamis 21 Februari 2019 pekan lalu membuat masyarakat berpikir kembali tentang pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di masing-masing wilayahnya.

Peringatan HPSN bukan tanpa sebab, ada satu tragedi memilukan yang memengaruhi kelahirannya. Peristiwa itu terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Bandung, Jawa Barat, pada 21 Februari tahun 2005 silam. Dimana terjadi ledakan hebat disertai longsor, hingga mengakibatkan sekira 150 orang warga sekitar tewas.

Kelalaian pengelolaan sampah itu, tak hanya menyebabkan korban jiwa. Banyak pemukiman warga mengalami rusak berat hingga harus direlokasi. Bahkan yang tak kalah dramatiknya lagi, tragedi TPA Leuwigajah menyisakan trauma mendalam para korban selamat.

Siapapun tentu tak mau kejadian itu terulang. Fasilitas TPA harus dibangun dan dioperasikan secara tepat dan sesuai ketentuan yang berlaku, guna menghindari dampak yang tak diinginkan.

Namun rupanya saat ini masih ada TPA yang diduga tak dikelola dengan sistem yang baik. Salah satunya adalah TPA Cipeucang, letaknya di Jalan Kapling Nambo, Serpong, tak terlalu jauh dari Kantor Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Data yang dihimpun dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangsel mencatat, saat ini volume sampah di Kota yang berpenduduk sekira 1,6 juta jiwa itu mencapai 970 ton per hari. Dari jumlah tersebut, 250 ton dibuang ke TPA Cipeucang, sedangkan sisanya dikelola oleh pihak swasta.

Berdasarkan perencanaan yang ada, pada tahun 2020 mendatang Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel sudah bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk membuang 300 ton sampah perhari ke Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo di daerah Bogor, Jawa Barat.

Ternyata pengelolaan sampah di TPA Cipeucang sejak lama dikritisi, baik oleh komunitas warga, maupun dari berbagai aktivis lingkungan hidup. Diantaranya oleh Forum Masyarakat Serpong Peduli (Formasi), di mana mereka telah menginventarisir sejumlah efek buruk TPA Cipeucang yang membahayakan manusia dan lingkungan.

Ketua Formasi, Ahmad Najib, menuturkan, dampak utama yang dirasakan warga adalah bau yang begitu menyengat. Bahkan tak sedikit penghuni di dekat TPA Cipeucang memilih berpindah rumah. Sialnya lagi, kondisi demikian berdampak pula pada harga jual rumah yang merosot tajam di sekitarnya.

“Ada yang sampai jual rumah, pindah ke wilayah yang lebih jauh dari Cipeucang. Harga jual rumah jadi murah, karena orang berpikir ulang tinggal di sekitar itu,” terangnya saat ditemui di Jalan Roda Hias, Serpong, Tangsel, Kamis (28/2/2019).

Selain itu, diungkapkan Najib, efek bau TPA Cipeucang juga berdampak pada tingkat kesehatan warga sekitar. Dikatakannya, pada awal tahun 2018 lalu pernah digelar audiensi dengan DPRD Tangsel terkait adanya sejumlah anak-anak yang menderita penyakit kulit.

“Waktu kita audiensi dengan DPRD itu kita bawa anak yang terkena penyakit yang diindikasikan kuat karena polusi sampah. Yang kita bawa ada tiga anak. Di wilayah Kapling RT02 RW04. Tapi ya nggak ada tindak lanjutnya,” ucapnya.

Berdasarkan dampak buruk tersebut, Formasi meyakini ada indikasi pengelolaan TPA yang tak sesuai ketentuan. Pemkot Tangsel selalu mengklaim jika TPA Cipeucang menggunakan sistem Sanitary Landfill, padahal berdasarkan pengamatan Formasi, sistem pengelolaannya masih menggunakan Open Dumping, cara yang telah lama dilarang oleh Undang-Undang (UU).

Untuk diketahui, Sanitary landfill merupakan sistem penimbunan, jika sampah yang dibuang setebal 30 centimeter, maka sampah tersebut harus ditimbun tanah dengan ketebalan yang sama. Sistem ini dapat meminimalisasi bau, dan membuat gas methan serta lindi (air sampah) dapat dikelola dengan baik.

Hal itu berbeda dengan Open Dumping, yang hanya menumpuk timbunan sampah secara terbuka di suatu area. Kini praktik itu telah dilarang, karena terbukti berdampak negatif terhadap lingkungan, dari mulai bau menyengat hingga melahirkan sumber penyakit.

“Analisis kita, TPA ini pengelolaannya buruk, tak ada transparansi. Yang kita dengar waktu awal-awal, menggunakan sistem sanitary landfield, hari ini kan faktanya open dumping. Ini bukan rahasia lagi,” sambungnya lagi.

Dugaan lain terkait pengelolaan sampah yang buruk itu bisa dilihat dengan cairan Lindi yang keluar dari tumpukan sampah TPA Cipeucang. Najib dan aktivis lingkungan berasumsi, jika cairan dari gunung sampah yang ada di Cipeucang mengalir langsung ke aliran sungai Cisadane yang berada tepat di bagian sisinya.

Bahkan para aktivis lingkungan, kata dia, sempat beberapa kali mendokumentasikan foto dan video yang membuktikan sampah Cipeucang bersentuhan langsung dengan Sungai Cisadane. Tanpa ada sistem penyaringan lebih dulu.

Tanpa parit yang mengalirkan cairan Lindi ke sistem pengelolaan, maka otomatis cairan itu akan merembes dan turun ke aliran sungai Cisadane. Padahal, sungai Cisadane adalah penyuplai air utama untuk wilayah Tangerang Raya.

“Kalau berdasarkan wawasan kita dari melihat TPA di wilayah lain, kemungkinan pengelolaan lindi yang kurang, tidak sesuai prosedur, mungkin ya seperti itu. Apalagi yang sangat dikhawatirkan cairan itu mengalir ke Cisadane,” papar Najib.

Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan dari Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelh) Indonesia, Pendaki Indonesia (PI) Tangerang, Pendaki Gunung indonesia, dan Cisadane Ranger Patrol (CRP) menggelar kemah di seberang gunung sampah TPA Cipeucang.

Mereka memprotes pengelolaan TPA Cipeucang yang mencemari sungai Cisadane. Dalam aksinya itu, para aktivis berkeliling aliran sungai di sekitar Cipeucang sambil merekam dengan video. Dari sana terbukti, jika sumber sampah ternyata memang berasal dari TPA Cipeucang.

“Kami sudah sejak lama mengingatkan Pemkot Tangsel dan dinasnya, agar jangan sampai pengelolaan TPA Cipeucang yang buruk itu pada puncaknya akan mengulang tragedi TPA Leuwigajah, jangan sampai. Tapi kita lihat, belum ada upaya apapun. Apalagi bisa kita lihat sendiri, dampak yang sekarang terasa itu sungai Cisadane sudah tercemar sampah, belum lagi cairan Lindinya,” ungkap Herman Felani, Koordinator Yapelh dikonfirmasi terpisah.

Sebagai gambaran, sesuai UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka Kementerian Lingkungan Hidup telah merumuskan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama pelibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat.

Pada Pasal 44 UU No. 18 Tahun 2008 berbunyi “Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini,”

Kemudian pada Pasal 45 UU yang sama dijelaskan, “Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (Open Dumping) paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini,”.

Keterlibatan Pemerintah Pusat dan Daerah ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas) dan Peraturan Presiden nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Setelah lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka Pemda harus mengganti TPA pembuangan terbuka (Open Dumping) menjadi TPA dengan sistem timbun (Sanitary Landfill). Meski begitu, masih ada Pemda yang menyatakan hal ini sulit dilakukan lantaran biaya pengelolaan Sanitary Landfill membutuhkan biaya sangat besar.(bli)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.