Monitor, Tangsel – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menolak tegas deklarasi pimpinan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, yang menyatakan pembentukan pemerintahan Papua Barat.
Dalam deklarasi itu, Benny mengklaim jika Papua Barat telah lepas dari Indonesia hingga tak lagi tunduk dengan segala peraturan-peraturannya. Dia pun menyebut dirinya didaulat sebagai presiden Republik Papua Barat.
Sekjend Nasional Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Rajid Patiran, menolak klaim sepihak Benny Wenda soal deklarasi pemisahan Papua Barat dari NKRI. Menurut dia, klaim Wenda semata-mata untuk kepentingan pribadinya di luar negeri dan bukan untuk kemaslahatan masyarakat Papua.
“Pemerintah dan seluruh aparatur negara baik TNI dan Polri agar sekiranya mengambil sikap tegas terhadap oknum-oknum yang memiliki kepentingan pribadi di luar dari kepentingan NKRI. Jangan sampai masyarakat terprovokasi akan hal itu,” kata Rajid, usai menggelar diskusi soal Otonomi khusus (Otsus) papua di Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), Jumat (4/12/2020).
Dijelaskan Rajid, pilihan NKRI sudah mutlak jadi keputusan final masyarakat Papua. Sehingga saat ini, kata dia, lebih relevan bicara bagaimana mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diberikan bagi kemajuan Papua dan masyarakatnya.
“Memang kami menilai jika Otsus masih ada kendala, tapi jangan kemudian yang muncul adalah isu-isu referendum. Karena sejatinya yang terpenting sekarang ini ialah membangun kesejahteraan ekonomi, infrastruktur, memanusiakan orang Papua, supaya duduk sama rendah berdiri sama tinggi,” jelasnya.
Oleh karenanya, sambung Rajid, penggunaan dana Otsus terkait pembangunan di Papua dan Papua Barat harus selaras antara pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pembangunan fisik. Apalagi, ada Instruksi Presiden (Inpres) terkait percepatan kebijakan pembangunan dan kesejahteraan Papua.
“Karena itu semua elemen perlu duduk bersama, agar Otsus lebih optimal. Apa yang diharapkan pemerintah pusat juga didukung daerah. Perlu dibuat forum dialog bersama, dan jangan membuat kelompok sendiri kemudian datang ke Pusat dan bicara sesuai kepentingan sendiri-sendiri sehingga membingungkan para pengambil kebijakan negara,” bebernya lagi.
Lebih lanjut dikatakan Rajid, Otsus memang perlu dievaluasi agar kebijakan dari tingkat provinsi ke kabupaten bisa seragam. Seringkali, menurut dia, terjadi dualisme kebijakan hingga anggaran tak bisa dieksekusi di tingkat kabupaten. Hal demikian terjadi lantaran kabupaten tak memiliki akses terhadap kebijakan Otsus.
“Salah satu indikatornya, indeks kesejahteraan di Papua masih rendah yang menandakan otsus belum optimal menjawab kesejahteraan. Karena itu ke depan perlu dibuat mekanisme yang jelas, siapa yang memutar dana Otsus, bagaimana evaluasi pengawasannya, dan dibicarakan baik-baik antara pusat dan pemerintah provinsi,” tandasnya.
Dalam diskusi itu paparkan, bagaimana sejak tahun 2001 Papua dan Papua Barat mendapatkan status daerah Otsus melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 dan Papua Barat melalui UU No. 35 Tahun 2008.
Selain untuk mempercepat dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah lain, spirit penetapan Otsus adalah pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk merumuskan, menyusun, dan merancang strategi pembangunan yang dibutuhkan masyarakat setempat.(bli)