Monitor, Tangsel – Tanggal 17 Agustus tahun ini Indonesia memasuki perayaan hari kemerdekaan ke-75. Tak banyak jumlah veteran yang hingga kini masih bisa merasakan buah perjuangan itu, karena sebagian besar dari mereka telah berpulang.
Salah satu veteran perang kemerdekaan itu adalah Nurhasan (93). Dia tinggal di daerah Pisangan, Ciputat Timur. Jabatannya saat ini adalah Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Monitor menyambangi kantor yang dijadikan sekretariat LVRI di Jalan H Usman Nomor 1, Ciputat, Minggu (16/8/2020). Kebetulan saat itu, Nurhasan tengah berkumpul pula bersama beberapa veteran lainnya.
Meski usia telah uzur, namun ingatannya bisa dibilang cukup prima dibanding mereka yang sebaya. Nurhasan masih sanggup menceritakan detail tahap demi tahap proses perjuangan yang telah dilalui, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan 1945.
Dalam pertemuan itu, Monitor mewawancarai Nurhasan seputar perjuangan di masa kemerdekaan. Khususnya saat berperang di bawah pimpinan tertinggi Jenderal Besar Sudirman. Pada beberapa kesempatan, pernah pula dia bertemu langsung dengan Jenderal Sudirman.
“Pernah ketemu langsung di tempat perundingan Linggar Jati (Kuningan, Jawa Barat). Terus waktu batalion saya bergeser ke Sumedang, di markas Siliwangi ketemu juga di sana,” tuturnya.
Pasukan Nurhasan ketika itu berada di bawah komandan Kapten Ishak Juarsa. Karena menjalani taktik perang gerilya, menyebabkan pasukannya selalu berpindah tempat. Semangatnya kian terpupuk, manakala menyaksikan sang Jenderal Sudirman tak henti memberi komando meski sedang sakit keras.
“Masih ingat jelas perintah beliau itu, jadi katanya sampai di manapun tetap yang kita tuju itu adalah kita harus merdeka !. Itu perintah ke semua pasukan, waktu itu di markas Siliwangi. Padahal beliau kondisinya sakit, tapi masih gagah, gesit,” sambung Nurhasan.
Nurhasan mengatakan, sejak usia 18 tahun dia memutuskan untuk bertempur bergabung bersama pejuang lainnya. Menurut dia, kondisi serba sulit pada zaman itu hanya memberikan 2 pilihan, tunduk lalu diperbudak penjajah atau melawan dengan resiko kematian.
“Semua sulit waktu itu, kalau mau makan ya masak singkong, ubi, karena bahan pokok padi dikuasai penjajah semua. Kalau kita nggak ngelawan ya dipaksa jadi budak sama mereka. Mendingan melawan sekalian, taruhannya nyawa. Karena senjata kita dulu kan . terbatas, seadanya,” ungkapnya.
Nurhasan pun sempat membandingkan masa-masa perjuangan terberat, yakni saat penjajahan belanda. Di mana hampir tiap waktu pecah pertempuran, lantaran pasukan Belanda kerap menyisir kantung-kantung persembunyian para pejuang Indonesia.
“Kalau dibandingin, paling berat zaman Belanda. Mereka lebih sering nyerang kita. Jadi pasukan Belanda itu kan banyak orang-orang kita juga, direkrut sama Belanda. Ada orang Maluku, Ambon, Jawa juga ada. Jadi kita waktu itu memang lagi diadu domba sama Belanda,” ucapnya.
Pertempuran demi pertempuran dilalui Nurhasan, bahkan hingga negeri ini telah menyatakan diri merdeka pun peperangan masih banyak terjadi. Di antaranya adalah Operasi Dwikora, Trikora, hingga penumpasan PKI tahun 1965.
“Saya sebenarnya tahun 1950 sudah keluar kedinasan, bebas tugas. Tapi tahun 1957 masih diperintah bergeser ke Medan, terus 1959 diperintah siaga di Jakarta. Kemudian tahun 1961 saya dipersiapkan menjadi relawan Trikora mengusir Belanda dari Papua, sampai lanjut operasi memerangi PKI di Madiun tahun 65,” bebernya.
Bagi Nurhasan dan pejuang lainnya, menebus sebuah kemerdekaan dengan menukar nyawa adalah pilihan resiko perjuangan yang telah dilalui. Kini dia pun menitipkan amanat pada generasi saat ini, untuk menjaga tanggung jawabnya mengisi kemerdekaan dengan hal positif dan bermanfaat.
“Kita semua harus menjaga negara ini dengan baik, jangan sampai dimanfaatkan lagi oleh negara asing. Negara ini kedepan tanggung jawab pemuda sebagai generasi penerus. Intinya jaga negara ini, kelola dengan baik,” tandasnya.(bli)