Monitor, Tangsel- Banten Drug Policy Reform (BDPR) dan Wahana Cita Indonesia (WCI) menggelar diskusi bersama dalam rangka mendorong percepatan respon pemerintah dalam peningkatan pendanaan domestik pada penaggulangan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) bertempat di Sapphire Sky Hotel BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (30/01/2018).
Universal Healt Coverage (UHC) merupakan implementasi dari Sustainable Devalopment Goals (SDGs) yaitu standar pelayanan minimum (SPM) didalam isue pencegahan dan penanggulangan HIV dianggap belum mampu mengurai strategi yang tepat agar pemerintah merespon penganggaran secara terencana dari pusat menuju provinsi dan kabupaten kota.
Hal ini disampaikan direktur WCI Hady Irawan pada sejumlah awak media usai menggelar diskusi.
Ia juga menjelaskan peningkatan pendanaan domestik pada isu kesehatan, khususnya upaya penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebuah upaya yang harus dilakukan .
“Hal ini perlu dilakukan agar dapat masuk kedalam skema penganggaran yang terencana dan menjadi isu prioritas sehingga akan masuk kedalam system perencanaan penganggaran pemerintah ditingkat pusat, provinsi juga kabupaten kota,” paparnya.
Hady melanjutkan di propinsi Banten tercatat dari periode 2006 hingga 2018 bahwa pendanaan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS nilai bantuan dari luar negeri mencapai kurang lebih 76 %, sedangkan sisanya berasal dari pendanaan daerah yaitu APBD.
“Hal ini perlu ditekankan mengingat pada tahun 2020 dimana Global Fund sebagai pendukung dana terbesar dalam isu ini di Indonesia akan mulai berkurang sesuai Komitmen mereka dan tidak lagi pada bentuk anggaran program juga belanja obat namun mereka akan lebih fokus pada respon penguatan kelompok berdampak saja,” tandasnya.
Menurut Hady Indonesia sebagai negara yang masuk dalam G-20 telah berada di posisi Middle Income Country maka menurutnya sudah seharusnya mampu mengambil respon dalam penganggaran belanja kebutuhan program penanggulangan HIV .
“Proses ini harus sudah mulai dicanangkan di tahun 2019 menuju tahun 2020 sehingga kami berharap pada tahun 2021 kita sudah mulai menyiapkan diri menuju pencapaian target SDGs dan tahun 2030 dalam kemandirian kesehatan di Indonesia khususnya isue penyakit HIV dan AIDS,” terangnya.
Hady juga menuturkan, sulitnya peningkatan penganggaran secara terencana di sebabkan oleh berbagai faktor diantaranya ketidakjelasan pembagian kewenangan dalam penganggaran antara pusat, provinsi, dan kabupaten kota, sehingga akan berdampak lemah masuk kedalam remcana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
“Peraturan kebijakan yang diterapkan dalam isu ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat , namun saat ini belum jelas bagian mana saja yang menjadi tanggung jawab daerah , dan ini terlihat belanja anggaran pusat akan lebih besar di beban penganggarannya dibanding daerah seakan termonopoli padahal proporsi tersebut dapat diurai dan di bagi secara tepat sesuai mandat juga kebijakannyang ada,” paparnya.
Haddy melanjutkan agar hal ini dapat dilihat secara gamblang dan dapat menjadi dorongan dalam peningkatan pendanaan domestik tahun 2019 hingga tahun 2020 nanti.
“Isu ini harus kita dorong agar kemandirian pendanaan kesehatan terutama HIV dan AIDS di daerah dapat cepat terlaksana dengan membagi tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat ,provinsi dan kabupaten kota,” pungkasnya. (h3n )